TTL : Luwuk, 4 Juni 1995
Pekerjaan : Mahasiswa
PT : Stia Bina Taruna Gorontalo
Prodi : Ilmu Administrasi Negara
Semester : IX ( Sembilan )
Alamat : Jl. Jaksa Agung Soeprapto
No. Hp : 085255117027
"Samudra Mimpi"
Dinginnya terasa menusuk kulit hingga ke tulang-belulang, pukul 04.30
dinihari. Embun telah membasahi sekitar pekarangan halaman, secara
perlahan kabut yang cukup tebal kembali menutupi desa. Suara kokok ayam
bersahut – sahutan itulah suasana disebuah pedesaan terpencil hal
demikian tentunya tidak asing lagi dalam kehidupan manusia, dan kini
tibalah waktunya, Shubuh. Assholaah tukhairuumminannaum… Adzan merambah
dan membahana memecah keheningan, seruan Sang Pencipta dikumandangkan
dengan lafadz yang begitu fasih membuat masing-masing individu
berbondong bondong menunaikan kewajibannya. Satu jam
kemudian….Greeekkk, greeekk !!! Suara pintu terdengar dibuka. Tampak
seorang perempuan dengan kondisi tertatih bertemankan tongkat mencoba
bangkit berdiri mendekat pada sebuah keran mengambil secawan air lalu
membasuh wajahnya yang berminyak setelah beberapa jam tertidur pulas.
Dari dapur terdengar suara agak sedikit berisik, piring dan gelas
berdentang, dan Ia pun bergegas menuju kearah sumber suara itu. Disana
ibunya sedang menyiapkan sarapan sementara tampak pula seorang
laki-laki cukup tua terlihat sibuk mengasah beberapa bilah parang dengan
pakaian lusuh, sebut saja itu adalah ayah kandungnya. Selang beberapa
menit sarapan telah tersedia dimeja, dua piring gorengan pisang dan
umbi-umbian menjadi sajian utama, sangat sederhana bukan? Begitulah
kehidupan keluarga para petani yang penuh dengan segala kekurangan, tak
ada makanan istimewa seperti halnya masyarakat perkotaan.
“ Ayah. Berhentilah sejenak! Sudah waktunya untuk sarapan “ katanya mengajak
Tanpa membuang waktu ayahnya lansung menuju meja makan kemudian mulai
mencicipi hidangan ala kadarnya, tidak berapa lama beliau kembali
bergegas menyiapkan segala sesuatu yang akan dibawa ke kebun, lalu
pergi.
Indahnya Pagi ! Mentari tampak kemerah-merahan diufuk timur,
perlahan-lahan tetesan embun mulai sirna tatkala terkena pancarannya,
semua orang terlihat mulai sibuk dengan urusan mereka masing. Para guru
dan murid pergi kesekolah, nelayan kembali mengarungi samudera, para
petani sudah siap beradu nasib menuju hutan belantara. Setelah semuanya
beres perempuan muda ini menuju pekarangan rumah ditemani tongkat kayu
yang selalu menemani keseharian menikmati keindahan pagi kala itu. Dia!
Sebut saja Astrid, itulah nama panggilan sehari – hari. Perempuan
bercirikan rambut panjang, tinggi, berkulit putih usia 16 tahun ini
telah menyelesaikan pendidikan setara SMA setahun silam. Pada awalnya Ia
sudah bercita – cita untuk bisa menjadi polwan namun belum sempat
impiannya itu terwujud, kejadian naas menimpa dirinya dan membuat Ia
harus mengurungkan niat. Sebagai pribadi yang terlahir dari keluarga tak
mampu Ia hanya bisa tawakkal dan tabah sebab uang yang seharusnya
dipakai untuk keperluan kuliyah telah diperuntukkan kepada rumah sakit
demi pengobatan dirinya, meskipun dokter telah menyatakan sembuh namun
itu hanyalah syurga telinga, kenyataan menjawab bahwa perempuan seperti
dia harus mengalami kelumpuhan total akibat kecelakaan tersebut. Hari –
hari dilalui sebagai mana mestinya, tak ada keluh kesah, tak ada air
mata yang keluar dari kelopak matanya yang indah, semua berjalan seperti
biasa dan seperti seharusnya. Cukup lama Ia berdiam diri melamun
dipekarangan gubuk itu, tiba – tiba ada sesuatu mulai merasuk dalam
fikiran tatkala bola matanya tertuju melihat beberapa siswa memakai
seragam putih abu – abu sejenak membuat Ia kembali terbuai akan kenangan
bersama para sahabat sejolinya pada masa sekolah dulu yang kini telah
lebih dulu berada dibangku strata satu. Angan kembali melayang, impian
terbayang, perlahan hati seakan luluh dan berisyarat bahwa pada hidupnya
yang sekarang terdapat ada 1001 kejanggalan.
“ Mungkinkah aku bisa? Dengan keadaan seperti ini rasanya aku tak
mungkin seperti kalian, sahabatku. Akankah kita bisa duduk bersama
dibangku perkuliahan? Ohh Tuhan… dapatkah nasib ini berubah? Ataukah
hanya tongkat ini yang akan menemaniku selamanya? Mungkinkah...
mungkinkah…mungkinkah “ Ia menjerit dengan penuh kepiluan seraya memeluk
tongkat itu hingga tanpa sadar butiran – butiran bening keluar dari
kelopak mata dan membasahi kedua pipinya.
Tak sanggup lagi jika harus terus meratap, maka dengan langkah tertatih
Ia berusaha berdiri masuk kedalam rumah lalu merebahkan tubuhnya diatas
lantai yang beralaskan tikar seadanya, bermaksud menenangkan hati.
Tapi semua tidak semudah itu, semakin Ia mencoba menenangkan diri
semakin besar pula keinginan untuk melanjutkan apa yang sudah menjadi
niat lurusnya yakni merubah kehidupan keluarganya. “ Jika aku hanya
berdiam diri maka dinding rumahku tetaplah hanya bilahan bambu, atap ini
tetaplah jerami, maka betapa berdosanya aku bila tak bisa merubah hidup
keluargaku “ katanya berbicara pada diri sendiri. Hasrat untuk berubah
perlahan tumbuh dalam dirinya, api semangat mulai menyala menyelimuti
jiwa, hati dikukuhkan bagai baja, tak ada motivasi dari sosok lain hanya
diri sendiri lah yang berniat untuk merubah keadaan meski Ia tak tahu
tantangan seperti apa dan darimana saja yang akan mencoba menghalangi
impian tersebut. Bermodalkan keteguhan hati, jernihnya fikiran dibarengi
kesungguhan Ia sangat yakin dapat menggapai kesempurnaan mimpi. Lama
berkhayal membuat perempuan sepertinya terlihat lelah namun Ia tak mau
memejamkan mata maka diraihnya raport – raport usang berdebu, sebagian
lembaran tampak kekuningan terkena air hujan, kertasnya sudah dipenuhi
lubang termakan oleh rayap. Dibukanya lembaran usang itu secara
perlahan, kandungan nilai – nilai yang tercantum didalamnya terlihat
sangat memuaskan. Tak bisa dipungkiri perempuan seperti Astrid memang
merupakan salah satu anak berprestasi tinggi disekolahnya, sudah
terbukti dalam cantuman nilai raport sejak SD sampai dengan SMA Ia
selalu berada pada peringkat pertama dikelas, pernah mengikuti olimpiade
nusantara sehingga pemerintah provinsi pun pernah berhutang jasa,
dimata masyarakat desa ia juga dikenal akan kebaikan budi pekerti maka
tak heran bila semua orang di desa itu senang terhadapnya. Berpondasikan
pengalaman pada moment kemarin membuat Ia semakin yakin bahwa dunia
pasti akan berada dalam kepalan tangan, secara perlahan hati yang
tadinya risau kini sudah sedikit merasa tenang.
“ Tok, tok, tok,… Astrid ? pintu belakangnya terkunci, tolong
bukakan “ seseorang berteriak dari arah dapur, panggilan dan suara itu
tentu saja dikenalinya. Walaupun penuh kepayahan Astrid lansung
mengambil tongkat lalu berjalan menuju pintu belakang. Tampak sang ayah
baru saja pulang, bajunya basah penuh dengan keringat karena menahan
beratnya beban dan tanpa menunggu perintah Ia mulai menyeduhkan segelas
teh hangat kepada salah satu sosok mulia itu.
“ Suatu saat ayah tidak akan memikul beban keluarga ini sendirian “ katanya seraya kembali menyodorkan secangkir teh.
“ Hahhh… apa maksudmu berkata demikian, anakku? “ Tanya sang
ayah merasa sedikit heran kala mendengar pernyataan anak emasnya.
“ Ahhhhh… tidaklah mengapa, Ayah. Maaf aku salah bicara “ Ia
membalikkan keadaan karena masih ada rasa takut untuk mengungkapkan
niatnya. Sementara sang ayah menikmati suguhan teh, Ia memutar badan
pergi meninggalkan ayahnya untuk membersihkan badan, kebetulan hari
sudah menjelang sore, matahari pun mulai bersiap kembali keperaduannya.
Maghrib telah usai. Selepas makan malam ketiganya berkumpul diruang tamu
yang ukuran luas hanya berkisar 5 meter, sembari duduk melantai. Sangat
banyak cerita dikisahkan baik dari sang ayah maupun bunda, sebagai anak
yang baik tentunya selalu mendengarkan pembicaraan dan nasehat kedua
orang tuanya. Hingga tanpa disengaja pembicaraan terhenti… “ Astrid,
sebagai anak ayah kau harus melanjutkan pembicaraan sore tadi. Ayah
merasa akhir – akhir ini ada hal terselubung yang ingin kau sembunyika
namun tidak kau utarakan kepada ayah maupun bunda, lekaslah katakan agar
kami segera tahu “ ujar ayahnya. “ Apa benar kau punya masalah, anakku?
“ lanjut sang ibu bertanya. Mendengar pertanyaan dari kedua orang
tuanya, jantung Astrid sedetik lansung berdebar hebat, badannya gemetar,
entah apa yang harus Ia katakan. Suasana demikian tentu tak bisa
dihindarkan, terlebih lagi posisi mereka sebagai orang tua kandung jadi
secara tidak lansung pertanyaaan itu haruslah segera dijawab. Dengan
rasa gugup ! “ Ayah, Bunda, sebenarnya aku sangat ingin….. “ Astrid
kembali menenangkan hati lalu menghela nafas panjang dan mulai
mengungkapkan niat tulus yang kurang lebih terpendam selama satu tahun,
dirinya penuh dengan sejuta harapan agar segala keinginan dapat
dikabulkan oleh kedua orang tuanya. Suasana pun semakin hening, kedua
sosok mulia itu mendengarkan setiap perkataan anak satu-satunya tersebut
secara seksama tanpa ada ketertinggalan kata maupun kalimat. Saking
serius mengungkapkan keinginannya, air mata pun jatuh tak tertahankan,
terungkaplah sudah kesungguhan hati seorang Astrid setelah sekian lama
memendam keinginan kini tinggalah saat menunggu keputusan dan restu dari
kedua orang tuuanya. Entah restu itu akan diberikan atau tidak, sampai
dengan larut malam Ia sendiri belum tahu.
Suasana
pagi tidak lah seindah hari kemarin, mentari yang dulunya bersinar cerah kini
seakan tertutup awan hitam, langit bagaikan siap menurunkan topan dan badai.
Anak cerdas seperti dia tidak seberuntung seperti perempuan lain, dengan
keadaan kaki yang lumpuh membuat sang ayah tidak yakin akan kesungguhan
anaknya. Cita – cita dan harapan terasa mulai pudar, hati yang tadinya tenang
segenap berubah menjadi resah dan gelisah. Suara cukup keras terdengar dari
ruangan depan, tak terkecuali isak tangis pun menyertai. Astrid memeluk kaki
ayah – bundanya bermohon agar diberikan izin untuk melanjutkan kuliyah seperti
sahabatnya yang lain, namun…..
“Ayah tidak akan mengizinkan kamu melanjutkan studi, akan ada baiknya kamu tinggal dirumah, temani ibumu anakku “ pernyataan itu terdengar lantang.
“ Mengapa ayah berkata demikian? Aku seakan terlahir sebagai anak yang tidak berguna dikeluarga ini. Selama ini aku tidak pernah mengecewakan ayah, lalu kenapa ayah bunuh cita – citaku ? “Astrid terus memohon, Ia mencoba mencari setitik pembelaan dari ibunya namun apa daya, hal itu tidak didapatkan.
“ Kau hanya akan menambah beban untuk dirimu sendiri, Astrid. Fikirkanlah, dan lihatlah keadaanmu yang lumpuh total sekarang. Dengan begini kau akan tetap melanjutkan studi? Nantinya jika itu terjadi, kau hanya merepotkan orang lain dan juga ayah “ ujar sang lelaki tua itu seraya lebih mengeraskan suaranya sembari melayangkan tatapan sinis.
“ Ayah, Ibu. Dengarkanlah anakmu yang cacat ini. Aku memang cacat total secara fisik, tapi aku tidak cacat secara otak, aku masih bisa melihat dan berfikir. Aku mohon ayah, ayaaaaah “ teriak Astrid menangis histeris sampai tubuhnya jatuh tersungur ke lantai, tak tersadarkan.
Dua jam kemudian Ia baru siuman setelah seseorang memanggilnya berulang – ulang, suara itu terdengar jelas ditelinga namun rupa wajahnya masih terlihat samar dimatanya. Dengan tubuh yang masih sangat lemas dan kelopak mata sedikit bengkak Ia mencoba berusaha bangkit lalu kemudian duduk bersandar, kepalanya masih terasa berat untuk dipalingkan. “Astrid, Astrid? “ apakah kau baik – baik saja? “ panggilan terdengar lagi, suara perempuan. Dengan penglihatan sedikit buram Ia menoleh ke sumber suara yang memanggilnya sejak tadi. Tampak seorang perempuan duduk disamping kanan bersama ibunya sementara disamping sang ayah ada seorang lelaki ikut mendampingi. “ Siska. Apakah itu kamu ? “ Tanya Astrid seakan tak percaya kalau yang duduk bersebelahan itu adalah sahabatnya sewaktu SMP dulu, keduanya tersenyum kelihatan ada sedikit nuansa kebahagiaan terlukis. Keduanya kembali bernostalgia, saling berbagi kisah setelah sekian lama berpisah. Pukul satu lebih lima puluh lima menit semuanya menuju meja makan, dua keluarga itu terlihat sangat akrab seakan tidak ada dinding pemisah antara si Kaya dan si miskin. “ Sudah siapkah semua keperluanmu, barang – barang yang akan kau bawa nanti Astrid ? jika sudah siap kita akan berangkat menuju kota Bandung sekarang juga “ kata Om Dion selaku ayah dari siska. Astrid yang sementara meneguk air tiba – tiba tersendak mendengar pernyataan itu, Ia mengerti dengan maksud perkataan Om Dion tadi. Secara spontan Ia memalingkan kepala kepada ayahnya dan ternyata pandangan itu dibalas positif disertai senyuman dari kedua orang tuanya, itu berarti restu telah diberikan. Kesyukuran Astrid kian bertambah saat mengetahui kalau biaya kuliyahnya ditanggung seratus persen oleh keluarganya Siska. Bahagia terlukis diwajahnya, meski Ia tahu harus rela berpisah sementara dengan kedua orang tua. Cita – cita tetaplah harapan, hidup harus menentukan pilihan sebagai tonggak masa depan demi kehidupan akan datang. “ Jagalah dirimu sebaik mungkin, kejarlah cita – citamu, raihlah apa yang telah kau niatkan, anakku “ kata kedua orang tuanya. Setelah mencium tangan kepada dua sosok mulia tersebut, Ia pun berangkat. ***BS***
Awal mengenal lingkungan kampus memang terasa sangat berbeda jika dibandingkan dengan SMA, betapa tidak! Bagi mahasiswi seperti Astrid hal ini menjadi tantangan terbesar selama hidup sebagai mahasiswi jurusan sastra oleh sebab kondisi fisik yang cacat membuat mahasiswa lain memojokkannya. Sindiran, hinaan, cacian selalu menukik membisingkan telinga perempuan seperti dia. Namun baginya semua itu dianggap angin lalu, sebagai seorang penyabar Ia tidak pernah membenci apalagi sampai membalas cacian tersebut, yang ada Ia tetap berusaha mendekati mereka. Satu – satunya teman bercakap hanyalah Siska, keduanya mengambil jurusan yang sama, saling membantu dan memahami satu sama lain. Setelah jam perkuliahan Astrid ditemani Siska menuju ruang perpustakaan berniat mencari buku referensi untuk ujian proposal nanti, tiba – tiba dari belakang terdengar suara salam, Astrid menjawab lalu menoleh…..
“ Hy… boleh aku tahu namamu ? “ Tanya seorang laki – laki dengan tubuh tinggi kekar sembari mengulurkan tangan ingin berkenalan.
“ Astrid “ jawabnya singkat dan membalas jabatan tangan tersebut.
“ Kau sendiri siapa ? “ Ia balik bertanya
“ Hafidz Setiawan, panggil saja Hafidz “ ujar lelaki itu.
Dari sinilah Astrid mulai menemukan sosok yang dianggapnya baik untuk dijadikan sahabat, keduanya terlihat asyik berbagi cerita hingga tanpa sadar jam menunjukan pukul enam belas tepat namun Astrid dan Hafidz belum beranjak dari tempat duduk sementara siska membiarkan mereka tetap berbincang, sebagai seorang sahabat dia mengerti dari moment inilah Astrid bisa menemukan teman baru. “ Aku sudah melihat karya tulisan tanganmu dibeberapa madding kampus dan sudah merilis Sembilan novel bertemakan pendidikan, hanya saja disitu pengarangnya di inisialkan AG dan aku yakin, AG itu merupakan singkatan dari Astrid Giu kan? Kau kan pengarang novel – novel itu ? “ Tanya Hafidz cukup merasa penasaran. “ Alhamdulillah, iya. Itu adalah aku “ kata Astrid kembali tersenyum. Terobati lah rasa penasaran siKutu buku ( Julukan Hafidz Setiawan ), setelah mendapat pengakuan dari pengarang Novel yang selama ini dianggap misteri olehnya. Tak lama kemudian Hafidz mengambil sesuatu didalam dompet lalu memberikan kartu nama serta alamat dengan tujuan mengajak Astrid kerja sama dalam bidang percetakan novel dan cerpen diUniversitas setempat, lalu dia pun lansung pamit.
**** Tak disangka, Tak terasa ! empat tahun kini telah berlalu, kenangan suka maupun duka telah dialami oleh perempuan cacat seperti Astrid. Ketabahan selalu menyertai dirinya meski masuk-keluar kampus hanya bertemankan tongkat dalam setiap kesehariannya, Minder ? Gengsi ? Tidak….Tidak…. Perempuan sepertinya tak pernah sedikitpun merasa minder ataupun gengsi sebab janji untuk untuk merubah keluarga telah ada sejak awal, nama baik orang tua selalu dijunjung tinggi yang nantinya akan dibuktikan kepada khalayak bahwa seorang yang cacat bisa sukses. Terbukti, novel gubahannya banyak laris dikonsumsi dipasaran nasional bahkan internasional.
Satu hari sebelum acara wisuda. Astrid tampak gelisah sebab kedua orang tuanya sudah berjanji untuk datang lima hari sebelum acara wisuda dilaksanakan namun sampai dengan sekarang belum juga tiba, Ia semakin panik. Saat itu Astrid dan siska berada dirumah Hafidz, semua teman sekelas calon wisudawan-wisudawati berkumpul dirumah miliknya yang megah itu. Mereka mengadakan pesta kecil-kecilan untuk syukuran atas sebuah keberhasilan.
“ Astrid. Silahkan dicicipi makanannya, tuh teman-teman lain udah pada makan “ kata Hafidz mengajak. Namun beberapa kali ajakan itu tak direspon olehnya, Ia terus saja melamun seperti anak ayam kehilangan induk. Meskipun Siska sudah berusaha menghiburnya namun usaha itu gagal, gagal total. Sampai dengan pukul dua puluh satu lewat lima belas menit Astrid tidak beranjak dari tempat duduk, perasaannya berkata akan ada peristiwa besar yang akan terjadi, entah apa hanya saja nuraninya berisyarat demikian. Resepsi wisuda tinggalah esok hari namun kedua sosok mulia belum juga memberikan informasi. Saat sedang duduk bersama sahabat-sahabatnya, apa yang terjadi ?.......ZZZzzztt,, ZZZzzzt,,Zzzzt,, handphone milik Astrid bergetar tanda ada pesan masuk. Betapa gembiranya Ia tatkala menatap beberapa inbox berasal dari nomor kontak milik sang bunda, karena tak sabar Ia lansung membuka pesan itu. Dibacanya dengan seksama, dan…………… wajaha gembira tadi hilang tidak lebih dari satu detik saking cepatnya ketika membaca isi pesan teks tersebut. “ Tidak,,,, Tidak,,,…… Tidaaaaaaaaakkkk…… Ayaaaaaaaaaahhh !!! “ handphonenya lansung jatuh ke lantai, wajahnya kembali pucat pasi lalu perlahan tersungkur. Melihat sudah ada sesuatu yang aneh dari wajah anak desa itu Hafidz lansung menabrak meja makan dan lansung menangkap kepala Astrid agar tidak terbentur, tepat! Belum sempat kepalanya sampai di lantai tangan Hafidz sudah lebih dulu menangkapnya. Hal yang tidak di inginkan pun akhirnya bisa dihindarkan. Sejenak malam jadi hening berubah tangisan pilu menyayat hati dan semua yang hadir dimalam itu turut berbela sungkawa, ayah Astrid telah meninggal dunia. “ Betapa malang nasibmu, dan betapa kuatnya jiwamu Astrid “ ucap Hafidz mengeluarkan air mata. “ Terlalu banyak cobaan dalam hidupmu, sahabatku “ Siska meratap sembari menangis di pelukan sahabatnya sambil mengelus rambut Astrid secara perlahan. Satu jam kemudian Ia baru siuman, semua sahabat menyampari berusaha mencoba menghibur dan memberikan dorongan. “ Aku akan pulang, aku ingin menatap wajah ayah” ujar Astrid dengan suara yang sudah sangat parau. Jarak antara kota kekampung halamannya sangatlah jauh harus menempuh jarak sekitar dua ratus kilometer, dengan jarak tempuh dimalam hari yang demikian jauh maka sangat mustahil untuk kembali. Apalagi esok merupakan penentu dan segala akhir dari perjuangan selama empat tahun, Astrid semakin dilema namun disisi lain Ia tak bisa berbuat apa-apa.
*** kebahagiaan di hari itu tak mampu menutui kesediahan, betapa tidak! Ia merasa kehilangan yang tiada tara, dengan kondisinya yang lumpuh kini deritanya semakin bertambah dan harus ikhlas harus kehilangan sosok seorang ayah. Astrid menyandang gelar sarjana sastra dengan IPK tertinggi yakni 3, 99 kemudian disusul oleh Hafidz dan Siska.
Lima jam Pasca setelah wisuda…
“ Om Dion, Siska, Hafidz akan pulang kekampung halamanku, jika waktu mengizinkan dengan cepat aku akan kembali lagi “ ujar astrid memohon pamit.
“ Aku akan ikut denganmu, Astrid. Izinkan aku mengantarmu sampai ditujuan dengan mobilku ini “ pinta Hafidz. Melihat kedua sahabat pergi Siska merengek kepada ayahnya untuk bisa ikut dan tentu saja Om Dion mengindahkan permintaan anaknya itu. Pukul tiga sore mereka pun berangkat. Sehari semalam berada diperjalanan maka sampailah mereka ditempat tujuan, baru saja turun dari mobil Astrid lansung bersujud diatas tanah lalu masuk kedalam rumah menuju ibunya sementara Hafidz dan Siska menyusul belakangan.
“ Bunda… di manakah makam ayah? “ Tanya astrid dengan nada gemetar, pipinya mulai basah tersiram butiran bening. Dari belakang siska lansung memapah menuju tempat dimana sang ayah dimakamkan. Diatas gundukan tanah Ia bersimbah pilu, bersujud seraya menggenggam tanah dan mengelus – elus batu nisan sebagai tanda kepala sang ayah….
“ Ayah !!! Izinkan aku membelai kepalamu hari ini, maafkan aku jika pernah berbuat salah. Ayaaahhh !!! mengapa engkau pergi sebelum aku memberikan kebahagiaan? Astrid terus menangis hingga bajunya basah dengan air mata. Ayahhhh… Lihatlah ini, lihat ayaaaaahhh!! Ini yang pernah aku janjikan saat engkau ragu akan keberhasilan studiku. Jeritnya lagi sembari mengeluarkan ijazah disertai dengan toga. “ Ayaaaah, aku berjanji akan menjaga ibu” belum juga kata-katanya terlanjutkan Astrid kembali tersungkur pingsan dan dengan sigap Hafidz lansung menggendongnya menuju rumah.
Malam itu bulan bersinar terang, suasana angin malam terasa sepoi-sepoi. tiga kawan sejoli duduk dipekarangan rumah baru milik Astrid, menikmati indahnya malam sambil berbincang-bincang untuk proses pendidikan selanjutnya.
“ Aku akan lanjut S2. Apakah kau juga akan melanjutkan studi di jenjang S-2, Astrid ? “ Tanya Siska
“ Iya, pasti “ jawabnya terlihat penuh komitmen. Bagaimana denganmu Hafidz ? “ Astrid kembali bertanya.
“ Aku juga pastinya tidak akan kalah dari kalian “ tukas siKutu buku dengan nada terdengar bercanda bermaksud mencoba menghibur Astrid yang sedang dilanda duka.
…….. Pada akhirnya ketiga sahabat ini sepakat untuk melanjutkan studi di jenjang S2, pada tahun yang sama dan Universitas yang sama pula ……..
Epilog
Pribadi yang dulunya di cerca kini menjadi bintang kertas ( Novelis ) yang mana kepopulerannya semakin lengkap ketika gelar strata satu jurusan Sastra berada di atas pundaknya, dengan komitmen memperbaiki tatanan kehidupan keluarga dimasa mendatang. Cercaan, hinaan, selalu tertuju kepadanya. Hanya sahabat sejatilah yang senantiasa menemani dan melengkapi kehidupannya.
“Ayah tidak akan mengizinkan kamu melanjutkan studi, akan ada baiknya kamu tinggal dirumah, temani ibumu anakku “ pernyataan itu terdengar lantang.
“ Mengapa ayah berkata demikian? Aku seakan terlahir sebagai anak yang tidak berguna dikeluarga ini. Selama ini aku tidak pernah mengecewakan ayah, lalu kenapa ayah bunuh cita – citaku ? “Astrid terus memohon, Ia mencoba mencari setitik pembelaan dari ibunya namun apa daya, hal itu tidak didapatkan.
“ Kau hanya akan menambah beban untuk dirimu sendiri, Astrid. Fikirkanlah, dan lihatlah keadaanmu yang lumpuh total sekarang. Dengan begini kau akan tetap melanjutkan studi? Nantinya jika itu terjadi, kau hanya merepotkan orang lain dan juga ayah “ ujar sang lelaki tua itu seraya lebih mengeraskan suaranya sembari melayangkan tatapan sinis.
“ Ayah, Ibu. Dengarkanlah anakmu yang cacat ini. Aku memang cacat total secara fisik, tapi aku tidak cacat secara otak, aku masih bisa melihat dan berfikir. Aku mohon ayah, ayaaaaah “ teriak Astrid menangis histeris sampai tubuhnya jatuh tersungur ke lantai, tak tersadarkan.
Dua jam kemudian Ia baru siuman setelah seseorang memanggilnya berulang – ulang, suara itu terdengar jelas ditelinga namun rupa wajahnya masih terlihat samar dimatanya. Dengan tubuh yang masih sangat lemas dan kelopak mata sedikit bengkak Ia mencoba berusaha bangkit lalu kemudian duduk bersandar, kepalanya masih terasa berat untuk dipalingkan. “Astrid, Astrid? “ apakah kau baik – baik saja? “ panggilan terdengar lagi, suara perempuan. Dengan penglihatan sedikit buram Ia menoleh ke sumber suara yang memanggilnya sejak tadi. Tampak seorang perempuan duduk disamping kanan bersama ibunya sementara disamping sang ayah ada seorang lelaki ikut mendampingi. “ Siska. Apakah itu kamu ? “ Tanya Astrid seakan tak percaya kalau yang duduk bersebelahan itu adalah sahabatnya sewaktu SMP dulu, keduanya tersenyum kelihatan ada sedikit nuansa kebahagiaan terlukis. Keduanya kembali bernostalgia, saling berbagi kisah setelah sekian lama berpisah. Pukul satu lebih lima puluh lima menit semuanya menuju meja makan, dua keluarga itu terlihat sangat akrab seakan tidak ada dinding pemisah antara si Kaya dan si miskin. “ Sudah siapkah semua keperluanmu, barang – barang yang akan kau bawa nanti Astrid ? jika sudah siap kita akan berangkat menuju kota Bandung sekarang juga “ kata Om Dion selaku ayah dari siska. Astrid yang sementara meneguk air tiba – tiba tersendak mendengar pernyataan itu, Ia mengerti dengan maksud perkataan Om Dion tadi. Secara spontan Ia memalingkan kepala kepada ayahnya dan ternyata pandangan itu dibalas positif disertai senyuman dari kedua orang tuanya, itu berarti restu telah diberikan. Kesyukuran Astrid kian bertambah saat mengetahui kalau biaya kuliyahnya ditanggung seratus persen oleh keluarganya Siska. Bahagia terlukis diwajahnya, meski Ia tahu harus rela berpisah sementara dengan kedua orang tua. Cita – cita tetaplah harapan, hidup harus menentukan pilihan sebagai tonggak masa depan demi kehidupan akan datang. “ Jagalah dirimu sebaik mungkin, kejarlah cita – citamu, raihlah apa yang telah kau niatkan, anakku “ kata kedua orang tuanya. Setelah mencium tangan kepada dua sosok mulia tersebut, Ia pun berangkat. ***BS***
Awal mengenal lingkungan kampus memang terasa sangat berbeda jika dibandingkan dengan SMA, betapa tidak! Bagi mahasiswi seperti Astrid hal ini menjadi tantangan terbesar selama hidup sebagai mahasiswi jurusan sastra oleh sebab kondisi fisik yang cacat membuat mahasiswa lain memojokkannya. Sindiran, hinaan, cacian selalu menukik membisingkan telinga perempuan seperti dia. Namun baginya semua itu dianggap angin lalu, sebagai seorang penyabar Ia tidak pernah membenci apalagi sampai membalas cacian tersebut, yang ada Ia tetap berusaha mendekati mereka. Satu – satunya teman bercakap hanyalah Siska, keduanya mengambil jurusan yang sama, saling membantu dan memahami satu sama lain. Setelah jam perkuliahan Astrid ditemani Siska menuju ruang perpustakaan berniat mencari buku referensi untuk ujian proposal nanti, tiba – tiba dari belakang terdengar suara salam, Astrid menjawab lalu menoleh…..
“ Hy… boleh aku tahu namamu ? “ Tanya seorang laki – laki dengan tubuh tinggi kekar sembari mengulurkan tangan ingin berkenalan.
“ Astrid “ jawabnya singkat dan membalas jabatan tangan tersebut.
“ Kau sendiri siapa ? “ Ia balik bertanya
“ Hafidz Setiawan, panggil saja Hafidz “ ujar lelaki itu.
Dari sinilah Astrid mulai menemukan sosok yang dianggapnya baik untuk dijadikan sahabat, keduanya terlihat asyik berbagi cerita hingga tanpa sadar jam menunjukan pukul enam belas tepat namun Astrid dan Hafidz belum beranjak dari tempat duduk sementara siska membiarkan mereka tetap berbincang, sebagai seorang sahabat dia mengerti dari moment inilah Astrid bisa menemukan teman baru. “ Aku sudah melihat karya tulisan tanganmu dibeberapa madding kampus dan sudah merilis Sembilan novel bertemakan pendidikan, hanya saja disitu pengarangnya di inisialkan AG dan aku yakin, AG itu merupakan singkatan dari Astrid Giu kan? Kau kan pengarang novel – novel itu ? “ Tanya Hafidz cukup merasa penasaran. “ Alhamdulillah, iya. Itu adalah aku “ kata Astrid kembali tersenyum. Terobati lah rasa penasaran siKutu buku ( Julukan Hafidz Setiawan ), setelah mendapat pengakuan dari pengarang Novel yang selama ini dianggap misteri olehnya. Tak lama kemudian Hafidz mengambil sesuatu didalam dompet lalu memberikan kartu nama serta alamat dengan tujuan mengajak Astrid kerja sama dalam bidang percetakan novel dan cerpen diUniversitas setempat, lalu dia pun lansung pamit.
**** Tak disangka, Tak terasa ! empat tahun kini telah berlalu, kenangan suka maupun duka telah dialami oleh perempuan cacat seperti Astrid. Ketabahan selalu menyertai dirinya meski masuk-keluar kampus hanya bertemankan tongkat dalam setiap kesehariannya, Minder ? Gengsi ? Tidak….Tidak…. Perempuan sepertinya tak pernah sedikitpun merasa minder ataupun gengsi sebab janji untuk untuk merubah keluarga telah ada sejak awal, nama baik orang tua selalu dijunjung tinggi yang nantinya akan dibuktikan kepada khalayak bahwa seorang yang cacat bisa sukses. Terbukti, novel gubahannya banyak laris dikonsumsi dipasaran nasional bahkan internasional.
Satu hari sebelum acara wisuda. Astrid tampak gelisah sebab kedua orang tuanya sudah berjanji untuk datang lima hari sebelum acara wisuda dilaksanakan namun sampai dengan sekarang belum juga tiba, Ia semakin panik. Saat itu Astrid dan siska berada dirumah Hafidz, semua teman sekelas calon wisudawan-wisudawati berkumpul dirumah miliknya yang megah itu. Mereka mengadakan pesta kecil-kecilan untuk syukuran atas sebuah keberhasilan.
“ Astrid. Silahkan dicicipi makanannya, tuh teman-teman lain udah pada makan “ kata Hafidz mengajak. Namun beberapa kali ajakan itu tak direspon olehnya, Ia terus saja melamun seperti anak ayam kehilangan induk. Meskipun Siska sudah berusaha menghiburnya namun usaha itu gagal, gagal total. Sampai dengan pukul dua puluh satu lewat lima belas menit Astrid tidak beranjak dari tempat duduk, perasaannya berkata akan ada peristiwa besar yang akan terjadi, entah apa hanya saja nuraninya berisyarat demikian. Resepsi wisuda tinggalah esok hari namun kedua sosok mulia belum juga memberikan informasi. Saat sedang duduk bersama sahabat-sahabatnya, apa yang terjadi ?.......ZZZzzztt,, ZZZzzzt,,Zzzzt,, handphone milik Astrid bergetar tanda ada pesan masuk. Betapa gembiranya Ia tatkala menatap beberapa inbox berasal dari nomor kontak milik sang bunda, karena tak sabar Ia lansung membuka pesan itu. Dibacanya dengan seksama, dan…………… wajaha gembira tadi hilang tidak lebih dari satu detik saking cepatnya ketika membaca isi pesan teks tersebut. “ Tidak,,,, Tidak,,,…… Tidaaaaaaaaakkkk…… Ayaaaaaaaaaahhh !!! “ handphonenya lansung jatuh ke lantai, wajahnya kembali pucat pasi lalu perlahan tersungkur. Melihat sudah ada sesuatu yang aneh dari wajah anak desa itu Hafidz lansung menabrak meja makan dan lansung menangkap kepala Astrid agar tidak terbentur, tepat! Belum sempat kepalanya sampai di lantai tangan Hafidz sudah lebih dulu menangkapnya. Hal yang tidak di inginkan pun akhirnya bisa dihindarkan. Sejenak malam jadi hening berubah tangisan pilu menyayat hati dan semua yang hadir dimalam itu turut berbela sungkawa, ayah Astrid telah meninggal dunia. “ Betapa malang nasibmu, dan betapa kuatnya jiwamu Astrid “ ucap Hafidz mengeluarkan air mata. “ Terlalu banyak cobaan dalam hidupmu, sahabatku “ Siska meratap sembari menangis di pelukan sahabatnya sambil mengelus rambut Astrid secara perlahan. Satu jam kemudian Ia baru siuman, semua sahabat menyampari berusaha mencoba menghibur dan memberikan dorongan. “ Aku akan pulang, aku ingin menatap wajah ayah” ujar Astrid dengan suara yang sudah sangat parau. Jarak antara kota kekampung halamannya sangatlah jauh harus menempuh jarak sekitar dua ratus kilometer, dengan jarak tempuh dimalam hari yang demikian jauh maka sangat mustahil untuk kembali. Apalagi esok merupakan penentu dan segala akhir dari perjuangan selama empat tahun, Astrid semakin dilema namun disisi lain Ia tak bisa berbuat apa-apa.
*** kebahagiaan di hari itu tak mampu menutui kesediahan, betapa tidak! Ia merasa kehilangan yang tiada tara, dengan kondisinya yang lumpuh kini deritanya semakin bertambah dan harus ikhlas harus kehilangan sosok seorang ayah. Astrid menyandang gelar sarjana sastra dengan IPK tertinggi yakni 3, 99 kemudian disusul oleh Hafidz dan Siska.
Lima jam Pasca setelah wisuda…
“ Om Dion, Siska, Hafidz akan pulang kekampung halamanku, jika waktu mengizinkan dengan cepat aku akan kembali lagi “ ujar astrid memohon pamit.
“ Aku akan ikut denganmu, Astrid. Izinkan aku mengantarmu sampai ditujuan dengan mobilku ini “ pinta Hafidz. Melihat kedua sahabat pergi Siska merengek kepada ayahnya untuk bisa ikut dan tentu saja Om Dion mengindahkan permintaan anaknya itu. Pukul tiga sore mereka pun berangkat. Sehari semalam berada diperjalanan maka sampailah mereka ditempat tujuan, baru saja turun dari mobil Astrid lansung bersujud diatas tanah lalu masuk kedalam rumah menuju ibunya sementara Hafidz dan Siska menyusul belakangan.
“ Bunda… di manakah makam ayah? “ Tanya astrid dengan nada gemetar, pipinya mulai basah tersiram butiran bening. Dari belakang siska lansung memapah menuju tempat dimana sang ayah dimakamkan. Diatas gundukan tanah Ia bersimbah pilu, bersujud seraya menggenggam tanah dan mengelus – elus batu nisan sebagai tanda kepala sang ayah….
“ Ayah !!! Izinkan aku membelai kepalamu hari ini, maafkan aku jika pernah berbuat salah. Ayaaahhh !!! mengapa engkau pergi sebelum aku memberikan kebahagiaan? Astrid terus menangis hingga bajunya basah dengan air mata. Ayahhhh… Lihatlah ini, lihat ayaaaaahhh!! Ini yang pernah aku janjikan saat engkau ragu akan keberhasilan studiku. Jeritnya lagi sembari mengeluarkan ijazah disertai dengan toga. “ Ayaaaah, aku berjanji akan menjaga ibu” belum juga kata-katanya terlanjutkan Astrid kembali tersungkur pingsan dan dengan sigap Hafidz lansung menggendongnya menuju rumah.
Malam itu bulan bersinar terang, suasana angin malam terasa sepoi-sepoi. tiga kawan sejoli duduk dipekarangan rumah baru milik Astrid, menikmati indahnya malam sambil berbincang-bincang untuk proses pendidikan selanjutnya.
“ Aku akan lanjut S2. Apakah kau juga akan melanjutkan studi di jenjang S-2, Astrid ? “ Tanya Siska
“ Iya, pasti “ jawabnya terlihat penuh komitmen. Bagaimana denganmu Hafidz ? “ Astrid kembali bertanya.
“ Aku juga pastinya tidak akan kalah dari kalian “ tukas siKutu buku dengan nada terdengar bercanda bermaksud mencoba menghibur Astrid yang sedang dilanda duka.
…….. Pada akhirnya ketiga sahabat ini sepakat untuk melanjutkan studi di jenjang S2, pada tahun yang sama dan Universitas yang sama pula ……..
Epilog
Pribadi yang dulunya di cerca kini menjadi bintang kertas ( Novelis ) yang mana kepopulerannya semakin lengkap ketika gelar strata satu jurusan Sastra berada di atas pundaknya, dengan komitmen memperbaiki tatanan kehidupan keluarga dimasa mendatang. Cercaan, hinaan, selalu tertuju kepadanya. Hanya sahabat sejatilah yang senantiasa menemani dan melengkapi kehidupannya.
kini
Astrid, Hafidz dan Siska melanjutkan studi S-2 di salah satu Universitas
ternama di daerah CANADA. Dan sekarang Astrid Giu mendapatkan Nobel Penghargaan
Internasional “Perempuan MotivatorDunia” dari pihak pemerintah Negara CANADA.
Setelah selesai menyelesaikan studi S-2, Astrid Giu dan Hafidz Setiawan hidup bersama dan membuka Yayasan yang berbasis Sastra Indonesia. Sementara keberadaan Siska masih bersifat misteri.
SELESAI
Post a Comment