“There is no democracy without journalism”
-Scott Pelley-
![]() |
Sumber Gambar: rsf.org |
Demokrasi adalah wujud dari kebebasan berekspresi, kebebasan begitu suci dalam ruang demokrasi yang dijamin oleh konstitusi. Saya teringat oleh elegi yang disampaikan Milan Kundera: “benar, konstitusi menjamin kebebasan berbicara; tetapi hukum akan menghukum tindakan apa pun yang ditafsirkan sebagai melecehkan negara”. Dimasa ini ruang demokrasi semakin sempit, mereka yang terus menggaungkan kebenaran harus berhimpit-himpitan dalam ruang tersebut, sesekali perlu mengambil napas panjang agar terus menggelorakan kebenaran. Sedari dulu sejarah menceritakan, beberapa orang harus berpulang dan ada pula yang keluar masuk penjara karena begitu “ngotot” untuk menyuarakan kebenaran.
Satu dari sekian banyaknya golongan yang masih tersisa dan begitu “ngotot” untuk mengharapkan ruang demokrasi terbuka lebar, adalah kalangan jurnalis. Kumpulan orang-orang yang menjamin pemenuhan Hak atas informasi bagi setiap manusia, meski kerap menerima serangan beruntun dari para oknum (komprador atau elite) yang tidak menginginkan ruang demokrasi terbuka lebar. Serta kelahiran UU ITE, yang sering menjerat para jurnalis untuk sedikit menurunkan standar kritisnya dalam pemberitaan. Tanpa sadar nilai-nilai demokrasi semakin tergerus, satu per satu hak para masyarakat yang mengimani demokrasi terus dilucuti. Sampai pada akhirnya kebebasan ditelanjangi tanpa ada sehelai aturan konstitusi yang bisa menutupinya.
Hari ini (27 desember 2018) berjarak 22 Tahun 133 Hari dari 16 Agustus 1996, salah seorang wartawan Bernas ditemukan tewas. Namanya Udin, sampai saat ini tidak sedikit orang yang terus mempertanyakan apa yang sebenarnya terjadi. Udin adalah satu dari delapan orang jurnalis yang kasusnya tidak sampai di meja hijau (proses pengadilan). Tak hanya itu, kehadiran jurnalis kurang disenagi oleh beberapa pihak, sehingga tak terhindarkan kekerasan terus diterima oleh para jurnalis.
Dinukil dari advokasi.aji.or.id ada sekitar 680 kasus kekerasan dialami oleh jurnalis Indoensia, yang tercatat dari tahun 2006 sampai 2018: pada 2006: 54 kasus; 2007: 75 kasus; 2008: 58 kasus; 2009: 38 kasus; 2010: 51 kasus; 2011: 45 kasus; 2012: 56 kasus; 2013: 40 kasus; 2014: 40 kasus; 2015: 42 kasus; 2016: 81 kasus; 2017: 66 kasus; 2018: 34 kasus. Sementara dari situs yang sama, menempatkan pelaku kekerasan terbanyak di dominasi oleh Massa (59) dan Polisi (54) pada peringkat kedua.
Para jurnalis yang berlandaskan nurani (elemen kesembilan dalam Sembilan elemen jurnalisme) untuk berorientasi pada kebenaran (fungsional), merupakan unsur penting yang menjamin demokrasi. Para jurnalis haruslah diberikan kebebasan dalam menjalankan tugasnya. Saat peringkat kebebasan pers di Indonesia begitu rendah, menurut Reporters Without Borders For Freedom of Information (rsf.org) Indonesia berada diurutan 124 dari 180 Negara, terlampau 123 peringkat dari Norwegia dan membawahi Qatar yang berada pada posisi 125. Ada beberapa unsur yang menjerat kebebasan pers di Indonesia menurut Rreporters Without Borders, setelah menerima laporan dari Aliansi Jurnalis Independen, unsur-unsur tersebut adalah: “Intimidation and even violence by the military against journalist who cover their abuses are not limited to Western New Guinea. Radical religious groups also pose a threat to the right inform. Many journalist say they censor themselves because of the threat from an anti-blasphemy law an Law on “Informasi dan Transaksi Elektronik” (Electronic an Information Transactions Law)”.
Miris sekali jika diperhatikan, jurnalis sebagai salah satu pilar demokrasi yang menjadi pengontrol bagi suatu negara harus menerima intimidasi dan juga dibatasi ruang geraknya saat bertugas. Kurangnya pemahaman dari masyarakat dan aparat tentang tugas pokok dan fungsi seeorang jurnalis, menjadi satu alasan kenapa jurnalis selalu menerima kekerasan dan didiskreditkan saat bertugas.
Saat semua ini terus berjalan dan tak pernah ada perubahan, maka dengan perlahan kita telah mengubur sedalam-dalamnya apa yang disebut kebebasan pers. Demokrasi yang kita jalankan sudah kehilangan ruhnya. Sekali lagi saya mengutip ungkapan Milan Kundera: “bahwa perjuangan manusia melawan kekuasaan adalah perjuangan manusia melawan lupa”. Kita tidak boleh lupa kalau kita adalah negara demokrasi, dan kebebasan pers adalah organ penting dalam demokrasi, kita jangan sampai lupa ada beberapa orang jurnalis yang berusaha untuk mengungkapkan kebenaran harus mengorbankan nyawanya, satu hal yang paling penting bila kita tidak mudah lupa. Hal itu adalah menjaga kewarasan dalam bernegara.
“Selamat menanti malam pergantian tahun yang tinggal beberapa hari lagi, semoga kita tidak menjadi golongan yang menderita kepikunan.”
-Misbahudin Djaba-
-Misbahudin Djaba-
Sumber Tulisan:
- advokasi.aji.or.id
- rsf.org
*Redaksi menerima karya Jurnalistik, Opini, Esai, Puisi serta karya terjemahan atau saduran.
Post a Comment